Orang-orang kata, pagi itu adalah cerah tetapi bagiku pagi tak ada beda dengan malam. Pagi bagiku tetap sama kelam dengan malam yang hitam tanpa bulan dan bintang.
Aku hadir ke dunia dengan tangisan. Sebuah penolakan awal untuk dilahirkan, namun manusia bersorak, mereka bergembira. Kau tahu mengapa? Karena mereka menertawakanku, mereka menikmati aku pada suatu ketika, saat kesepian hadir lebih mengkekalkan daripada bayang-bayang manusia tentang tsunami atau ledakan krakatau yang memisahkan Sumatera dan Jawa.
Aku menghela napas. Mampu kurasa aliran-aliran kesunyian, sepi, hampa menjalari pelosok pori-poriku, menggatali sekujur epidermis dan menggoyang-goyang bulu-bulu kulitku. Demikian kekal adanya, tak akan mampu tersangsikan.
Sekujur pagi aku meringguk. Membalutkan lenganku pada kedua ujung lutut yang kuangkat dalam posisi jongkokku. Kepala tunduk dalam kesendirian. Mengertikah engkau bagaimana pekatnya gelap? Lebih pekat daripada hitam saat malam tak berbulan dan berbintang.
Aku ingin berteriak. Terisak. Menangis. Lantas aku mati tanpa perlu menunggu waktu pembalasan tiba. Aku ingin menjadi tiada, tanpa harus mengeja surga dan neraka. Aku ingin menjadi alpa, tanpa beta dan omega. Menjadi sesuatu yang orang-orang sebut: hampa.
Aku ingin menikam diriku sendiri. Aku ingin waktu kembali ketika aku masih menjadi satu dari sejuta. Ketika sperma belum bersekutu bersama ovum lantas jadilah aku di dunia ini. Aku ingin memasuki ruang waktu, berbalik kepada ketika aku dulu, lantas akan kutikam diriku yang dulu itu hingga aku yang sekarang menjadi tiada. Menjadi tak pernah tertulis dalam catatan.
Aku mengeja suara burung. Mereka berkicau demikian riuh, tak pernah merasakan beban sepi. Aku menyusuri lekuk asing pada dinding-dinding, tak pernah bernapas untuk merasai sunyi. Aku menatap mentari, menyuarakan pagi, tak pernah jeda dalam lingkup hampa. Lantas, mengapa aku menjadi sedemikian sunyi?
Aku menutup mata. Menarik selimut tebalku, dan mengangkat bantal untuk menutupi wajahku. Aku ingin semua menjadi hitam. Engkau tahu mengapa? Karena pagiku segelap malam.
________
sumber
Aku hadir ke dunia dengan tangisan. Sebuah penolakan awal untuk dilahirkan, namun manusia bersorak, mereka bergembira. Kau tahu mengapa? Karena mereka menertawakanku, mereka menikmati aku pada suatu ketika, saat kesepian hadir lebih mengkekalkan daripada bayang-bayang manusia tentang tsunami atau ledakan krakatau yang memisahkan Sumatera dan Jawa.
Aku menghela napas. Mampu kurasa aliran-aliran kesunyian, sepi, hampa menjalari pelosok pori-poriku, menggatali sekujur epidermis dan menggoyang-goyang bulu-bulu kulitku. Demikian kekal adanya, tak akan mampu tersangsikan.
Sekujur pagi aku meringguk. Membalutkan lenganku pada kedua ujung lutut yang kuangkat dalam posisi jongkokku. Kepala tunduk dalam kesendirian. Mengertikah engkau bagaimana pekatnya gelap? Lebih pekat daripada hitam saat malam tak berbulan dan berbintang.
Aku ingin berteriak. Terisak. Menangis. Lantas aku mati tanpa perlu menunggu waktu pembalasan tiba. Aku ingin menjadi tiada, tanpa harus mengeja surga dan neraka. Aku ingin menjadi alpa, tanpa beta dan omega. Menjadi sesuatu yang orang-orang sebut: hampa.
Aku ingin menikam diriku sendiri. Aku ingin waktu kembali ketika aku masih menjadi satu dari sejuta. Ketika sperma belum bersekutu bersama ovum lantas jadilah aku di dunia ini. Aku ingin memasuki ruang waktu, berbalik kepada ketika aku dulu, lantas akan kutikam diriku yang dulu itu hingga aku yang sekarang menjadi tiada. Menjadi tak pernah tertulis dalam catatan.
Aku mengeja suara burung. Mereka berkicau demikian riuh, tak pernah merasakan beban sepi. Aku menyusuri lekuk asing pada dinding-dinding, tak pernah bernapas untuk merasai sunyi. Aku menatap mentari, menyuarakan pagi, tak pernah jeda dalam lingkup hampa. Lantas, mengapa aku menjadi sedemikian sunyi?
Aku menutup mata. Menarik selimut tebalku, dan mengangkat bantal untuk menutupi wajahku. Aku ingin semua menjadi hitam. Engkau tahu mengapa? Karena pagiku segelap malam.
________
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar