"Pertemuan Dengan Taliban”
28 September 2001, tujuhbelas hari setelah peristiwa runtuhnya gedung World Trade Center di New York. Pemimpin reporter Sunday Express, seorang single mother berusia 43 tahun, dikirim ke Islamabad untuk meliput “perang melawan teroris” yang baru saja dimulai oleh George W. Bush, presiden Amerika Serikat kala itu.
Saat itu Yvonne Ridley mengenakan pakaian khas wanita Afganistan lengkap dengan burkanya, ia berusaha masuk ke Afganistan secara ilegal lewat perbatasan Pakistan. “Untuk meliput krisis kemanusiaan dan berbicara dengan orang-orang Afganistan yang tidak bisa atau tidak mau meninggalkan negara itu,” katanya memberi alasan mengapa ia ingin masuk ke negara itu.
Bukankah tindakannya itu sangat berbahaya, apalagi untuk seorang wanita dan ibu dari seorang putri? “Tapi jurnalis memang mengambil resiko ketika mereka memburu berita … Para jurnalis akan pergi (meskipun) ke daerah berbahaya, karena sifat dasar mereka pergi ke tempat di mana ada berita baru,” tegasnya.
Dalam perjalanan pulang, hanya dua mil dari perbatasan, ketika melewati pos pemeriksaan Taliban dekat Jalalabad, keledai yang ditungganginya tidak terkendali. Ia pun terjatuh dengan disaksikan lusinan mata tentara Taliban. Yvonne berusaha segera mengatasi keadaan, namun kamera yang ia sembunyikan di balik jubahnya jatuh.
Seorang tentara Taliban dengan wajah geram karena marah datang menghampirinya. “Wow..., kamu tampan sekali,” katanya dalam hati, demi memandang seorang pria muda Afganistan bermata hijau dan berjenggot lebat itu.
“Tapi kemudian rasa takut menghampiri,” katanya. Ia pikir dirinya pasti akan diperkosa beramai-ramai atau dilempari batu hingga mati. “Saya membayangkan rasa sakit yang akan saya derita, dan saya berdoa, apapun yang terjadi semoga saya mati dengan cepat.”
“Saya sangat takut. Tidak hanya karena saya ditangkap oleh rejim yang paling brutal dan kejam di dunia--itu kata-kata Presiden Bush, bukan saya-- tapi juga karena mereka membenci wanita! Saya tidak pernah berpikir bahwa saya akan bisa melihat matahari lagi sejak saat ditangkap.”
Yvonne lalu dibawa ke markas intelijen di Jalalabad. Di sana ia ditempatkan dalam sebuah ruangan ber-AC. “Saya bisa ke toilet yang nyaman dan mandi. Di sana saya cukup nyaman kondisinya.” Setelah enam hari berada di tempat itu, ia pun dipindah ke Kabul. Kondisi di sana berbeda dengan di Jalalabad. “Tidak air kran yang mengalir. Jika Anda perlu air, maka harus memompa air di luar,” katanya.
“Beberapa kali saya mengira akan dipukuli atau dieksekusi. Satu ketika di Kabul, saya tidak bisa mengendalikan emosi lalu meludah, bersikap kasar, dan mengumpat mereka.” Yvonne juga mogok makan. “Saya pikir tindakan itu akan memicu reaksi keras dari mereka, tapi ternyata mereka kelihatan seperti terluka dan berkata bahwa saya adalah 'tamu' dan 'saudara perempuan' mereka.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar